AHLAN WASAHLAN DI BLOG PONDOK PESANTREN NUR AL TAUHID MARUNDA JAKARTA UTARA

Rabu, 11 November 2020

7 BUKTI BAHWA ALAM SEMESTA INI BARU (BERAWAL) DAN PASTI DICIPTAKAN




Bismillah, alhamdulillah, wa solatu wa salamu ala rosulillah

amma ba'du


Munurut kaedah pemikiran Akal, bahwa sesungguhnya Wujud atau perkara yang ada itu hanya dua. Yaitu :

 

1.Wujud yang tidak menerima tiada.

2.Wujud yang menerima tiada.

 

Yang pertama di sebut Wajib Wujud

Yang kedua di sebut Jaiz Wujud atau Mungkin Wujud.

 

Wajib wujud itu adalah Zat Allah dan sifat-sifat Allah SWT yang tidak berawal dan berakhir.

 

Jaiz wujud itu adalah seluruh alam semesta yang hanya berisi 2 perkara, yaitu :

1. Zat alam berupa benda atau materi yang bertempat pada ruang secukup dirinya, biasa disebut JIRIM atau benda/materi.

2. Sifat alam berupa sifat yang selalu berubah, biasa disebut dengan ARODH.

 

Wajib wujud adanya tidak butuh diciptakan, karena dia tidak pernah tiada.

Jaiz wujud rupanya alam semesta ini adanya pasti baru yaitu tadinya tiada lalu berubah menjadi ada. Setiap perkara yang baru pasti diciptakan, tidak mungkin muncul dengan sendirinya. 

Banyak diantara orang yang disebut pemikir mengatakan bahwa alam ini baru tapi tidak diciptakan. Disini akan kita buktikan bahwa alam semesta ini baru dan setiap yang baru pasti diciptakan.

 

Caranya kita lihat alam yang isinya Jirim dan ‘Arodh, karena hanya dari sinilah kita akan menetapkan alam semesta ini baru, yang pada akhirnya setelah kita bisa membuktikannya akan menjadi jalan untuk makrifat kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Sebatas inilah pengetahuan manusia tentang Tuhannya.

 

Ada 7 (tujuh) cara untuk mengetahui kemahlukan atau kebaharuan Alam (jirim dan aradh) :

 

1.    Ziida Mengetahui bahwa pada setiap benda (jirim) itu pasti mempunyai sifat yang berubah (aradh), seperti sifat gerak dan diam. 

Contohnya mobil bergerak maka mobil adalah benda/materi dan bergerak adalah sifatnya yang merupakan perkara selain benda/materi.

Maka bedakanlah tentang hal ini, antara Arodh itu sifat sedangkan benda/jirim adalah dzat.

Maka dipastikan setiap zat pasti punya sifat.

2.    Ma qooma Mengetahui bahwa sifat (aradh) pada setiap benda itu tidak bisa berdiri sendiri.

Apakah ada orang yang berakal pernah menyaksikan adanya sifat benda (aradh) tanpa ada bendanya (jirim) ??? Kita ambil contoh sifat benda yang sudah di pahami tanpa perlu mencari, seperti GERAK dan DIAM. Apakah pernah terjadi sifat gerak atau sifat diam muncul tanpa menempel pada sebuah benda ???

Maka dipastikan setiap sifat tidak bisa berdiri sendiri.

3.    Ma intaqola Mengetahui bahwa sifat (arodh) yang ada pada satu benda itu tidak bisa pindah ke benda (jirim) yang lain. 

Ketika sebuah benda (jirim) A sedang bergerak kemudian berganti menjadi diam, gerak yang tadi sudah tidak ada lagi pada benda (jirim) A tersebut, maka tidak mungkin sifat gerak tadi berpindah ke benda (jirim) lain. 

Seperti halnya penyakit menular yang pindah dari satu tubuh ke tubuh lain. Ini tidak mungkin terjadi, karena berpindah dari satu benda ke benda yang lain itu memungkinkan sifat itu berdiri sendiri yaitu setelah dia keluar dari wujud yang satu dan belum sampai pada wujud kedua, maka ini menyalahi pembuktian ke 2 diatas bahwa sifat (arodh) tidak bisa berdiri sendiri.

Maka dipastikan bahwa apabila sifat yang baru muncul pada sebuah benda maka sifat yang lama pasti tiada.

4.    Ma Kaamina Mengetahui bahwa gerak tidak bersembunyi pada jirim yang diam dan begitu sebaliknya, diam tidak bersembunyi pada jirim yang gerak.

Karena gerak dan diam adalah dua sifat yang saling berlawanan. Artinya tidak bisa di katakan "jirim itu sedang bergerak dan diam" (secara bersamaan dalam satu waktu).

Maka dipastikan bahwa apabila sifat yang baru muncul pada sebuah benda maka sifat yang lama pasti tiada.

5.    Ma infakka Mengetahui bahwa Jirim dan Aradh tidak bisa saling berpisah.

Tidak mungkin ditemukan, bahwa ada jirim tanpa arodh atau sebaliknya, karena itu mustahil. Apabila sifat A telah berdiri pada satu benda maka keduanya tidak bisa dipisahkan. Apabila sifat A itu tiada maka benda itupun akan ikut tiada secara bersamaan, karena keduanya saling terkait (mulazamah)

Maka dipastikan zat dan sifat keduanya selalu terikat (lazim) apabila satu tiada maka yang lain juga tiada.

6.    La udma Qodima Mengetahui bahwa sesuatu yang Wujud dan telah di ketahui adamnya, tak bisa di sebut wajib wujud atau qodim (tidak berawal)

Karena Qodim itu tidak pernah Adam. Adapun aradh yang telah kita saksikan Adam (tiada) nya setelah wujud, maka dia bukanlah Qodim. Kalau bukan qodim, tentu dia adalah Baru. Karena tidak ada tengah antara ke duanya. Begitulah cara berfikir yang benar.

Maka dipastikan bahwa arodh itu wajib baru karena pernah tiada maka jirim tentu mengikuti, sama-sama wajib baru karena keduanya saling terkait (mulazamah).

 

7.    La khiina Mengetahui mustahilnya hawadits tidak berawal. Kalau di tetapkan bahwa arodh itu wajib baru karena pernah tiada maka jirim tentu mengikuti, sama-sama wajib baru karena keduanya saling terkait (mulazamah). 

Maka dipastikan bahwa setiap zat yang mempunyai sifat baru maka zat itu juga pasti baru yaitu ada permulaannya, mustahil tidak berawal.

 

Mengapa perlu diketahui? Karena sebagian kaum mengatakan (setelah mendengar beberapa hujjah di atas) bahwa alam ini adalah sebuah perkara Baru tetapi tidak bermula. Aneh memang, tapi itulah kenyataan yang keluar dari mulut mereka kaum Falasifah, Wahhabiyyah Mujassimah, Mu'tazilah dan lain sebagainya. Mereka mengatakan bahwa sebelum benda/materi itu ada, sifat gerak atau diam sudah terlebih dahulu muncul, keduanya sudah ada sebelum benda. 

Kata filosof “Tidak ada gerak kecuali ada gerak sebelumnya, begitu seterusnya sampai tak terhingga. Begitu juga sesudah gerak atau diam bahwa tidak ada gerak atau diam kecuali sesudahnya juga gerak atau diam, begitu sesamanya”. 

Seperti contohnya bumi ini berputar maka putaran yang sekarang didahului putaran yang sebelumnya begitu seterusnya, hingga mereka katakan putaran bumi ini Qodim. Itulah yang mereka maksud dengan perkara hawadits/baru yang tidak bermula alias Qodim. 

Kita katakan pada mereka "Dimanakah keberadaan gerak/diam yang kalian katakan qodim itu sebelum bumi ini ada ? Berpisah dari bumikah ? atau Bersembunyikah dia ? atau menunggu kedatangan bumi dengan berdiri sendiri ? atau bumi serta geraknya itu Qodim ? Semua itu Mustahil terjadi dengan dalil diatas.

Dari tujuh argumentasi tentang barunya alam semesta diatas bisa kita simpulkan menjadi 2, yaitu :

Pertama ada 3 argumentasi untuk membuktikan benda (jirim) itu baru yaitu dalil nomer 1, 5 , 7.

Kedua ada 4 argumentasi untuk membuktikan sifat (arodh) itu baru yaitu dalil nomer 2, 3, 4, 6.

Apabila alam semesta telah dibuktikan seluruhnya wajib baru maka alam semesta juga pasti diciptakan. Apa buktinya ???

Buktinya bahwa sesuatu yang baru adalah sesuatu yang dulunya tiada lalu berubah menjadi ada. Maka posisi keduanya dalam keadaan seimbang antara adanya dan tiadanya. Bagaikan sebuah timbangan yang sama posisi kedua bejananya. Maka kedua posisi yang seimbang itu tidak akan bisa saling mengungguli yang lainnya dengan sendirinya. Karena apabila salah satunya bisa naik sendiri maka bejana lainpun akan bisa naik sendiri, akan terjadi keduanya naik secara bersamaan maka ini super mustahil, karena akan terkumpul dua perkara yang berlawanan pada satu benda.

Kesimpulannya sebuah timbangan yang seimbang kedua sisinya apabila naik salah satunya pasti karena ada yang menentukan sisi mana yang akan naik.

Alam semesta ini sebelum adanya dalam keadaan seimbang, maka pasti ada sang penentu yang bisa memilih untuk memunculkan salah satunya yaitu antara adanya atau tiadanya. Sang penentu itu adalah ALLAH swt sebagai kreator  yang mendesain alam semesta dan seluruh isinya.

Adapun nama sang pencipta yang mendesain alam semesta ini adalah ALLAH maka itu tidak dihasilkan dengan argumentasi akal tapi itu datang dari seorang Nabi yang menjadi utusan untuk memberitakan nama Allah dan yang lainnya.

 

Itulah penjelasan singkat tentang bait yang telah masyhur di kalangan para pakar ilmu tauhid yang berbunyi :

 

مَاانْفَكَّ لاَ عُدْمَ قَدِيْمَ لاَ حِنَا   #  زِيْدَ مَاقَامَا مَاِنْتَقَلَ مَاكَمِنَا

(ziida ma qoma ma intaqola ma kaamina ma infakka la udma qidima la khina)

 

Tujuh pengetahuan tersebut di kenal oleh para ulama ahli kalam Ahlu Sunnah dengan sebutan Matholibus Sab'ah (tujuh pencarian). Di katakan bahwa barang siapa yang mengetahui matholib sab'ah tersebut maka dia selamat dari tujuh pintu neraka jahannam. Berfikirlah wahai saudaraku...

Makrifat kepada Allah itu tidaklah susah, Cukup kenali diri kita sendiri. Kenali bahwa diri kita terdiri dari Jirim dan Aradh, lalu kenali apa yang wajib, mustahil dan jaiz pada keduanya. Insya Allah kita mendapatkan akidah yang bersih yang dapat bermanfaat kelak di ahirat dengan anugrah Allah subhanahu wa ta'ala.

Waffaqoniyallah Wa iyyakum li mardlotihi... Amiin....

 

 


Selasa, 10 November 2020

PERBUATAN YANG TIDAK DILAKUKAN NABI, HARAMKAH KITA MENGERJAKANNYA ?





Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid’ah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum (istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah.

Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tarku dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Al-Imam Syekh Abdullah al Ghomariy mengatakan ; “Setiap perkara apapun yang ada landasannya dari Syara’ maka itu bukan bid’ah. walaupun tidak dikerjakan oleh Salaf”

[Husnu At-Tafahum wa Ad-Dark fiy Masail At-Tarku]

Dalam kitab lain disebutkan, ”Setiap perkara yang memiliki landasan Syara’ dan walaupun tidak dikerjakan oleh Salafu Shaleh, maka itu tidak buruk”.

[Mafhum Al-Bid’ah ‘Inda Ulama’ Al-Ummah]

Kaidah Ushul mengatakan, “apa yang ditinggalkan tidak menunjukkan bahwa sebuah perbuatan terlarang (haram)”

Untuk menunjukkan sesuatu itu haram, Alquran dan sunnah menggunakan lafazh-lafazh larangan, tahrim atau ancaman siksa (‘iqab), seperti:

ولا تقربوا الزنا الإسراء :

Artinya “…dan janganlah engkau dekati zina…”(Al-Isra:32)

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل البقرة

Artinya “…dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara yang batil…”(Al-Baqarah:188)

حرمت عليكم الميتة و لحم الخنزير المائدة

Artinya “Diharamkan atasmu bangkai dan daging babi…”(Al-Maidah:3)

Dari nash-nash di atas, para ulama mengistimbat hukum bahwa zina, memakan harta orang lain secara batil, memakan bangkai dan babi serta berbohong adalah haram. Dan tidak pernah di dalam istimbat hukum, para ulama kita menggunakan tarku Nabi (sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sebagai hujjah untuk mengharamkan sesuatu.

Perhatikan ayat dan hadits berikut ini:

وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا الحشر:


“…dan apa-apa yang Rasul datangkan kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang Rasul larang maka tinggalkanlah…”(Al-Hasyr:7)

Dari ayat di atas sangat jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu jika dilarang Rasul, bukan ditinggalkan atau tidak dilakukan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam .

Coba perhatikan bunyi ayat di atas: وما نهاكم عنه bukan وما تركه.

Kemudian coba perhatikan hadits berikut ini:

قال قا ل صلى الله عليه و سلم: ما أمرتكم به فأتوا منه ما ستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه رواه البخاري

Nabi Saw bersabda: “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah !”

Dari hadits di atas sangat gamblang bahwa bunyi haditsnya:
وما نهيتكم عنه” dan bukan وما تركته فاجتنبوه

Para ulama ushul fiqih mendefinisikan sunnah (السنة) sebagai: perkataan (القول), perbuatan (الفعل) dan persetujuan (التقرير) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan tarku-nya (الترك). Jadi siapapun yang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa dikatakan dia telah bertentangan dengan sunnah, sebab tarku bukan bagian dari sunnah.

Para ulama ushul fiqih telah bersepakat semuanya bahwa landasan hukum (hujjah) untuk menentukan sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh dengan empat landasan hukum yaitu: Alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dan tidak pernah at-tarku dijadikan sebagai landasan hukum (hujjah).

Jika ada yang mengatakan bahwa ada ”Sunnah Tarkiyyah” maka itu jelas-jelas telah menambah-nambah dan membuat-buat dalil dalam agama dan itu bid’ah dhalalah.

Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i, Imam Abu Muhammad Abdullah Qutaibah didalam Al-Ikhtilaf fi Lafdzi wa Ar-Rad ‘alaa Al-Jahmiyyah wa Al-Musyabbihah : “perbuatan membid’ahkan pendapat yang masih bersandarkan hujjah dalam agama Allah adalah bid’ah”.

Wassalam,

Disarikan dari tulisan Mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo Fakultas Syariah Wal Qanun dengan beberapa penambahan.

Referensi ;

– Kitab Husnut-Tafahumi wa Ad-Darki Limas’alatit-Tark
– Mafhum Al-Bid’ah ‘Inda Ulama’ Al-Ummah.

 


 

 


 

 

Jumat, 06 November 2020

Bagi yang Haus Kemurnian Agama Maka Belajarlah Ilmu Tasawuf | 2

 




Sekarang akan kita perluas pembahasan tentang ikhsan dalam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya. 

Tidak akan berhasil seseorang mengerjakan perintah ikhsan ini kecuali dengan beberapa sarana dan tahapan


1. Dengan akal yang sehat dan keimanan yang benar
2. Anggota badan yang telah tunduk dan patuh pada semua perintah,
3. Hati yang bersih dari segala kekotoran.
3. Memahami hubungan antara ciptaan dan penciptanya,
4. Selalu menyadari bahwa iman yang ada pada dirinya adalah karunia Allah 5. Selalu memuji Allah setiap melakukan ketaatan dan ibadah.

       Lalu bagaimanakah perjalanan ikhsan ini ? dan dari mana harus dimulai?

          Sesungguhnya perjalanan ikhsan ini adalah perjalanan bagi orang yang banyak mengingat Allah, selalu berfikir tentang bukti kekuasaan Allah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan menjaga hati dan akal dari perkara yang bisa melupakannya pada Allah SWT. Jalan yang terbaik untuk bisa cepat sampai pada kedudukan ini adalah 

1. Dengan melanggengkan dzikir (solat daim), 
2. Selalu mendekatkan diri kepada Allah, 
3. Selalu menghubungkan segala nikmat yang diperoleh kepada Allah, 
4. Selalu menyadari bahwa setiap nikmat yang datang pada dirinya adalah anugerah dari Allah  dan murni atas pilihan Allah sendiri. 
    

    Sangatlah jelas bahwa kenikmatan yang diberikan Allah kepada hambanya itu tidak pernah putus, dari detik ke detik. Sesungguhnya manusia itu adalah hamba yang sangat dimuliakan oleh Allah, bumi sebagai tempat tinggalnya telah dipenuhi dengan jutaan kenikmatan, langit sebagai atapnya telah dipenuhi dengan jutaan kenikmatan dan manusia dari atas kepala hingga kakinya dipenuhi dengan kenikmatan. Dan semua kenikmatan itu selalu berubah berganti dengan kenikmatan baru hingga tidak akan bisa dihitung jumlahnya.

    Apabila seorang hamba kembali dalam kesadarannya dan bisa mengingat kenikmatan yang diberikan oleh Allah sebagai anugerah pada dirinya, baik ketika menerima setiap kenikmatan itu atau ketika mengingat salah satunya, dan selalu menyadari semua kebaikan dari Allah maka akan muncul rasa cinta di hatinya kepada Allah zat yang selalu memberikan kebaikan. Karena sesungguhnya jiwa manusia itu akan terikat dan tertarik untuk mencintai orang yang selalu berbuat baik pada dirinya. Dan ketika seorang hamba terus tenggelam bersama kebaikan kebaikan Allah, selalu mengingat dan memikirkannya maka akan bertambah pula rasa cinta dan pengagungan kepada Allah SWT.

     Kemudian cinta yang kuat ini akan berperan sangat besar dalam kehidupan seseorang, dia bisa mematikan keburukan yang ada dalam hati, bisa menahan gejolak di dalam diri dan bisa membatasi perasaan yang muncul dalam hati, yang mana kecintaan kepada Allah ini nanti akan nampak jelas pada dirinya dan membuahkan penyaksian kepada Allah.

    Maka akan mencairlah kefanatikan dalam diri dan dokrin yang tertanam dalam hati, dan akan kembali sang memimpin diri yang mana sebelumnya dia terbelenggu oleh hawa nafsu, dan akan melemah naluri perasaan yang mengendalikan pergerakan anggota badannya. Maka dia akan menjadi manusia beriman yang bersih hatinya, yang mana Allah mensifati mereka dalam surat Al Baqoroh 165


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ

Artinya Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

          Apakah tergambar seseorang yang sangat cinta yang kepada Allah tidak melakukan solat dengan baik, maksudnya dia tidak sadar bahwa Allah menyaksikan dirinya ketika dia menghadap kepada Allah, ketika dia ruku’, ketika dia sujud ? atau apakan tergambar masih muncul dalam solatnya kesibukan memikirkan dunia di dalam hatinya, naluri perasaannya membawa dia lupa mendekatkan diri kepada Allah dan lupa kalau keselamatan dirinya ada dalam kekuasaan Allah SWT ?

           Jawabannya pasti tidak akan tergambar keadaan seperti itu terjadi pada seorang hamba yang cinta kepada Allah, selama cara ini terus di jalankan dan di lakukan. Sungguh benar-benar muncul keadaan baru di dalam hati seseorang yang akan diperolehnya dengan jalan selalu mengingat Allah, yang disebut dengan IKHSAN. Muncul diantara bangunan keimanan yang berpusat di dalam akal dan bangunan islam yang di kerjakan oleh anggota badan.

     Sekarang telah jelas, siapa lagi kiranya orang yang tidak tahu bahwa sesungguhnya perintah ikhsan yang telah disampaikan oleh Rasulullah adalah pintu untuk kesempurnaan islam, bahkan tidak hanya itu tapi menyeluruh hingga pada kesempurnaan iman dan islam !!! bukankah menjalankan rukun islam tanpa rukun ikhsan adalah sama seperti tubuh tanpa ruh atau seperti patung yang tidak bergerak ?

        Lalu apakah bisa di samakan antara orang yang benar-benar membangun islam dengan orang yang berpura-pura dan hanya basa basi, dia masih tenggelam di dalam kubangan hawa nafsu dan syahwatnya, masih tunduk pada segala keinginannya dan berpegang kepada doktrin. Pada kenyataannya banyak terlihat dalam kehidupan manusia yang masih demikian. Ini terjadi karena hubungan antara akalnya orang mukmin dengan ketundukan diri sebagai orang islam terputus atau tidak ada. Tidak muncul diantara keduanya perjalanan ikhsan, yang mana tidak akan bisa seseorang sampai pada kedudukan ikhsan ini kecuali dengan jalan memperbanyak mengingat Allah dan cara mengingatnya adalah dengan pendekatan yang selalu diperbaharui.

Apabila telah jelas bahwa jalan untuk bisa sampai menjadi orang yang beribadah dengan ikhsan adalah selalu mengingat Allah, karena itu merupakan cara yang paling baik untuk bisa mendatangkan kecintaan kepada Allah, yaitu jalan yang penuh dengan pengekangan diri dan pembersihan nafsu.

Lalu apakah ada seorang muslim yang meremehkan pengobatan jiwa dengan cara ini, apalagi menolak dan memasukkannya dalam kelompok ajaran bid’ah dan perkara baru yang dibuat-buat.

 

Bagaimana mungkin seorang muslim yang sungguh-sungguh dalam membangun keislamannya akan mengingkari cara ini, sedangkan di dalam alquran begitu banyak ayat memerintahkan untuk berzikir, sebagai peringatan bagi orang yang lalai, begitu banyak ayat yang memerintahkan agar kita menetapi jalan pensucian dan pembersihan hati dari segala macam kekotoran hati yang dinamai oleh Allah “MAKSIAT HATI”.

 

Apabila datang seseorang membawa petunjuk untuk murid-muridnya dan menolong mereka dengan mengikuti jalan yang diajarkan, yaitu jalan menuju pemberihan hati dengan cara tertentu hingga bisa menjadi orang yang qona'ah, punya keyakinan yang dalam dengan akalnya, hingga bisa bangkit rasa cintanya kepada Allah, ada rasa takut kalo jauh dari Allah, muncul rasa pengagungan yang besar, dan semua itu berhasil membangun perasaan yang mendominasi hati seorang murid.

Lalu dia berkumpul bersama dan membuat tatacara ibadah tersendiri dengan wirid-wirid dan kata-kata bijak yang dipilihnya sendiri, yang tujuannya bisa mengeluarkan mereka dari kubangan kelalaian menuju kepada menaiki tangga zikir dan mengingat Allah, hingga bisa menyaksikan Allah yang mata hatinya dan sampai menjadi orang yang beribadah dengan ikhsan, yang mana ibadah dengan ikhsan ini adalah sebaik-baiknya ibadah dan sebaik-baiknya pendekatan diri kepada Allah karena bisa beribadah seakan-akan melihat Allah.

Sekarang saya akan bertanya, apabila datang seseorang yang memberi nasehat dan mengajarkan pada murid, santri atau kawannya sebuah cara agar bisa selalu mengingat Allah, apakah itu termasuk ajaran yang buruk karena meninggalkan perintah Allah dan ajaran Rasulullah untuk membuat benar dirinya sendiri baru kemudian mengajarkannya kepada orang lain ?

Siapakah mereka itu yang mana Allah menjelaskan tentang mereka dalam Alquran surat Fusilat 33

 

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

 

Artinya Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

 

Dan mereka pula yang dijelaskan oleh Rosulullah dalam sebuah haditsnya

لَأَنْ يَهْدِي اللهَ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حَمْرٍ النِعَمِ

Artinya apabila kamu bisa mengajak satu orang ke jalan Allah maka itu lebih baik bagi dari memiliki unta merah.

 

Kemudian jika datang seseorang dengan membawa ajaran pembersihan jiwa, lalu menamainya dengan TASAWUF atau ILMU SULUK atau AJARAN SUCI. Apakah karena nama ini mengalahkan penamaan yang telah ada dalam agama, lalu harus kita anggap sebagai sesuatu yang batal. Coba luaskanlah pikiran, kita kesampingkan dulu itu penamaan, tatacara, pelajaran. Kita harus bisa melihat mana yang benar, jangan sampai kita berdiri ditempat yang salah, jangan menimbang sesuatu dengan tidak adil, timbanglah sesuatu dengan adil.

Apabila ada yang berkata, jalan tasawuf yang kalian tempuh itu penuh dengan perbuatan bid'ah yang tidak ada dasar dari alquran dan sunnah ? 

maka jawablah, anda harus bersyukur karena memiliki kecemburuan pada kebaikan dan selalu menegakkan yang benar agar tidak tercampur dengan sesuatu yang keluar dari ajaran rasulullah.

Tetapi kecemburuan itu tidak seharusnya menghancurkan perjalanan orang lain yang sedang menuju pada kebaikan, apalagi sampai bosan menyampaikan kebaikan dan menolong saudaranya keluar dari kesalahan.

Apakah menganggap diri lebih benar dan salah pada orang lain adalah jalan pembersihan hati dan jalan untuk bisa sampai pada kedudukan ikhsan, atau ini merupakan cara menyelamatkan seseorang dari ketersesatan, maka cara seperti ini justru cara yang bid'ah, tipuan yang sangat halus dengan menganggap orang lain yang tidak seperti kita itu salah dan telah keluar dari jalur agama.

Mungkin inilah penyebab banyaknya tersebar bid'ah yang mana banyak orang menyalahkan orang lain hanya karena penggunaan kalimat tasawuf yang dianggapnya bid'ah atau menggunakan kalimat yang lain yang tidak sama dengan ungkapan yang di gunakan mereka..

Maka cara yang seperti ini bukanlah warna sebuah kritik untuk membuat bangunan menjadi lebih baik tetapi justru merupakan penghakiman yang bertujuan menghancurkan bangunan agama orang lain secara keseluruhan, dan penyebabnya hanya karena tidak enak dipandang mata ...

Temukan perbuatan bid'ah dalam setiap perbuatan baik dalam agama, lalu focuslah untuk mengingkarinya dan berusaha mengilangkan semua itu, mengajak untuk membersihkannya, peringatkanlah bahayanya,   maka dengan cara itu semua batang dan daun parasit akan rontok, lalutanaman akan mekar dan tumbuh dengan sehat bersih dari tercampur sesuatu yang akan merusaknya. 

Sesungguhnya orang islam pada masa ini berada dalam titik kehausan dan membutuhkan kejernihan beragama yang bisa membebaskan dari kekejaman dunia dan dari godaannya yang sangat halus dan mempesona yang mana sekarang telah merajalela. 

Apabila tersedia untuk kaum muslimin seseorang yang bisa menuntun mereka pada tujuan agama yang benar-benar bersih dari kekotoran dan bid'ah, maka pasti mereka akan mengandalkannya, mereka akan bahagia dan mereka akan berharap dari jalan itu yang merupakan saluran tanpa penghambat apapun.

 Namun Kaum muslimin tidak menemukan di hadapannya kecuali hanya orang yang menghalangi, mencegah dan menakut-nakuti mereka dari mengikuti jalan bersih ini dengan fitnah penuh dengan bid'ah. Tetapi orang-orang ini mencegah tanpa memberikan solusi atau alternatif lain untuk bisa selamat. 

Maka pasti kaum muslimin akan menyambut sebuah ajakan ketaatan kepada Allah karena kebutuhan yang sangat mendesak dan pasti akan menolak pada peringatan dari orang-orang yang tidak bisa memberikan alternatif lain kecuali hanya ada kehausan pada pertengkaran.

Maka sekarang sangatlah jelas bahwa mereka yang kehausan pasti membutuhkan tuntunan dari KITAB HIKAM IBNU ATHOILLAH atau yang serupa dengan kitab ini, yang mana dengan tuntunan ini seseorang akan bisa memperoleh agama islam yang murni dan bersih, jauh dari tercampur dengan bid'ah dan perkara munkar. Dan akan bisa diperoleh semua itu apabila mereka mau mengambil nasehat untuk diri sendiri agar naik ke tingkat yang lebih tinggi yaitu cinta kepada Allah, mengagungkan Allah, punya rasa takut kepada Allah, ridho kepada Allah, percaya sepenuhnya kepada Allah, tawakal kepada Allah, apakah bisa iman kepada Allah tanpa itu semua ? 

Semoga semua yang mau mengambil nasehat dari KITAB HIKAM ini atau yang semisalnya segera memperoleh penghambaan yang murni dengan tanpa tercampur kerusakan dan bid'ah.

WALLAHUA'LAM.


Rabu, 04 November 2020

Bagi yang Haus Kemurnian Agama Maka Belajarlah Ilmu Tasawuf 1





Berkata sebagian orang, sesungguhnya tujuan mempelajari kitab HIKAM atau yang sepertinya adalah sebagai awal keberangkatan seorang menuju tasawuf (sufisme). Adapun tasawuf adalah sebuah bahaya dalam islam yang akan mengeluarkan seseorang dari dalamnya, karena pekerjaan orang tasawuf merupakan perbuatan BID’AH yang di kawatirkan oleh Rosulullah dalam sabdanya

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Artinya Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676).

Maka akan kita jawab, adapun masalah nama “TASAWUF” memang tidak diragukan lagi bahwa itu tidak ada di zaman Nabi dan kita bersepakat tentang hal ini. Sebenarnya  banyak juga dijumpai nama baru dalam agama yang tidak ada di zaman Nabi tapi tidak sampai dianggap sebagai perbuatan bid’ah. Yang menjadi permasalahan di sini bukanlah lagi seputar nama dan pelajarannya, karena itu tidak lah masuk ke dalam pengertian “Perkara Baru” yang dikhawatirkan Nabi. Adapun makna yang dimaksud dengan perkara baru adalah perkara yang berkaitan dengan meyakini sifat yang tidak pantas bagi Allah dan tentang cara menyembah yang salah.

Oleh karena itu, mungkin yang lebih baik kita tidak menggunakan kata “Tasawuf” agar tidak menyinggung perasaan sebagian orang yang memang tidak mau menggunakannya, tapi kita akan langsung menuju pada makna yang terkandung di dalamnya. Karena imam ahmad ibnu Athoillah sendiri juga tidak menggunakan satu pun kata tasawuf di dalam kitab Hikam yang ditulisnya. Walaupun begitu kita tetap tidak bisa membuang kata tasawuf dari kamus.
Kemudian kita akan langsung saja melihat kitab Hikam ini dari arah inti sari dan pengertiannya. Lalu akan kita letakkan semua pengertian dari kitab ini di atas timbangan kitab suci Alquran dan sunnah Rosulullah. Apabila maknanya sesuai dengan timbangan tersebut maka kita akan menerimanya dan apabila tidak sesuai maka kita akan menolaknya.

Adapun kata yang di gunakan Nabi yang sama tujuannya dengan ilmu tasawuf adalah kata “ IKHSAN”. Yang mana pengertian dan kepentingannya ada dalam sabda Nabi yang diriwayatkan dalam shohih Imam Muslim dari sahabat Umar bin Khottob, yang mana dalam hadits tersebut Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril as
الاِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ, فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya Ikhsan adalah menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka yakin lah bahwa Allah melihat dirimu.

          Mari  bertanya pada diri kita masing masing, apakah kita butuh pada penuntun untuk bisa sampai pada kedudukan ikhsan, setelah Rosulallah yang merupakan Imam ahli hakekat menjelaskan kepada kita tentang pengertian islam dan iman ?

          Setelah kita berhasil menjadi orang islam dan orang yang beriman, Apakah kita pernah bertanya bagaimanakah kedudukan ikhsan itu dan bagaimana cara mencapainya ?

        Sesungguhnya dalam perjalanan hidup Rasulullah dan para sahabat yang mulia, nampak dari perjalanan hidup keduanya kebutuhan yang sangat untuk bisa sampai pada kedudukan ikhsan, sangat jelas terlihat kesibukan mereka untuk mencapai kedudukan ikhsan, ditengah kesibukan mereka membangun tiang agama yang berupa iman dan islam. Kalau begitu apa yang telah berjalan di masa hidup Rasulullah SAW dan para sahabat ra juga harus ada dalam perjalanan hidup kaum muslimin. Demikian ditulis oleh Asyahid Imam Muhamad Said Romadhon AlButy dalam pembukaan syarah hikam.

         Dari apa yang telah kita diketahui bahwa rukun iman itu adalah perintah Allah agar manusia menanamkan keyakinan dalam hati yang dibangun dengan akal pikiran yang sehat, adapun rukun islam adalah perintah Allah  agar manusia menampakkan amal dengan anggota badan.

          Akan tetapi apakah ada perintah lain, selain membangun rukun iman dengan keyakinan akal yang kuat dan membangun rukun islam dengan anggota badan ?

          Mungkin saja ada yang menjawab, kami tidak membutuhkan perkara baru dalam beragama, cukuplah bagi kami iman dengan keyakinan akal yang kuat pada agama dan islam yang memotivasi kami mengerjakan amal ibadah dengan anggota badan.

          Maka jawaban yang demikian adalah jawaban yang didasari pemikiran salah dari sisi ilmu pengetahuan dan kebatalan dikarenakan menolak kenyataan yang terjadi di zaman Rasulullah dan para sahabatnya.

          Kebanyakan dari mereka yang menolak di karena akalnya mengimani Allah tapi tidak sesuai dengan keimanan yang benar, bahkan berlawanan. Ini juga terjadi pada beberapa orang di zaman Rosulullah saw tapi pada zaman sekarang hampir sebagian manusia dalam keadaan demikian. Dan mereka itulah yang ada dalam firman Allah dalam surat An-naml ayat 27

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Artinya Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.

    Yang menjadi sebab adanya pengingkaran adalah TAHSINUL AKLI yaitu akal dianggap sebagai satu satunya sarana terbaik untuk bisa memotivasi seseorang dalam beribadah, banyak orang yang beranggapan demikian. Padahal dalam diri mereka masih ada kotoran yang belum dihilangkan, seperti kefanatikan, mengedepankan hawa nafsunya, mengejar keinginan pribadinya dan masih selalu terbawa emosi, lalu bagaimana akal bisa mengendalikan badan yang belum sepenuhnya tunduk dan patuh ?

        Maka apabila kita tidak mau meluaskan cara untuk bisa menghubungkan antara akal dan perbuatan manusia, yang mana cara inilah yang kita butuhkan untuk membersihkan semua kotoran dalam diri dan ini yang nanti akan kita bicarakan, maka pasti akal akan mengalami kekalahan dalam peperangan ini, apabila akal selalu di nomor satukan dan dijadikan sarana utama untuk mengendalikan kehidupan beragama, maka akan terjadi kekacauan dalam perjalanan hidup seseorang yang masih dipenuhi dengan fanatisme, emosi, mengikuti nafsu, yang kesemuanya itu bertentangan dengan fitrah manusia juga bertentangan dengan perjalanan hidup Nabi dan para sahabatnya.

        Lihatlah pada kebanyakan manusia di zaman sekarang, maka kamu akan mendapati manusia seperti apa yang aku katakan.