Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid’ah karena
acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat
ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum (istimbat)
dari Al-Quran dan as-Sunah.
Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term
ulama usul fiqih disebut at-tarku dan tidak ada keterangan apakah hal
tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut
tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Al-Imam Syekh Abdullah al Ghomariy mengatakan ;
“Setiap perkara apapun yang ada landasannya dari Syara’ maka itu bukan bid’ah.
walaupun tidak dikerjakan oleh Salaf”
[Husnu
At-Tafahum wa Ad-Dark fiy Masail At-Tarku]
Dalam
kitab lain disebutkan, ”Setiap perkara yang memiliki landasan Syara’ dan
walaupun tidak dikerjakan oleh Salafu Shaleh, maka itu tidak buruk”.
[Mafhum
Al-Bid’ah ‘Inda Ulama’ Al-Ummah]
Kaidah Ushul mengatakan, “apa yang ditinggalkan tidak menunjukkan bahwa sebuah
perbuatan terlarang (haram)”
Untuk
menunjukkan sesuatu itu haram, Alquran dan sunnah menggunakan lafazh-lafazh
larangan, tahrim atau ancaman siksa (‘iqab), seperti:
ولا تقربوا الزنا الإسراء :
Artinya “…dan
janganlah engkau dekati zina…”(Al-Isra:32)
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل البقرة
Artinya “…dan
janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara yang
batil…”(Al-Baqarah:188)
حرمت عليكم الميتة و لحم الخنزير المائدة
Artinya “Diharamkan
atasmu bangkai dan daging babi…”(Al-Maidah:3)
Dari
nash-nash di atas, para ulama mengistimbat hukum bahwa zina, memakan harta
orang lain secara batil, memakan bangkai dan babi serta berbohong adalah haram.
Dan tidak pernah di dalam istimbat hukum, para ulama kita menggunakan tarku Nabi
(sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) sebagai hujjah untuk mengharamkan sesuatu.
Perhatikan
ayat dan hadits berikut ini:
وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
الحشر:
“…dan apa-apa yang Rasul datangkan kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang
Rasul larang maka tinggalkanlah…”(Al-Hasyr:7)
Dari
ayat di atas sangat jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu jika dilarang
Rasul, bukan ditinggalkan atau tidak dilakukan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
salam .
Coba
perhatikan bunyi ayat di atas: وما نهاكم عنه
bukan وما تركه.
Kemudian
coba perhatikan hadits berikut ini:
قال قا ل صلى الله عليه و سلم: ما أمرتكم به
فأتوا منه ما ستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه رواه البخاري
Nabi Saw
bersabda: “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku
larang maka jauhilah !”
Dari
hadits di atas sangat gamblang bahwa bunyi haditsnya:
“وما نهيتكم عنه” dan bukan وما تركته فاجتنبوه
Para
ulama ushul fiqih mendefinisikan sunnah (السنة)
sebagai: perkataan (القول), perbuatan (الفعل) dan persetujuan (التقرير) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan tarku-nya (الترك). Jadi siapapun yang melakukan sesuatu dan
sesuatu itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
bisa dikatakan dia telah bertentangan dengan sunnah, sebab tarku bukan bagian
dari sunnah.
Para
ulama ushul fiqih telah bersepakat semuanya bahwa landasan hukum (hujjah) untuk
menentukan sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh dengan empat
landasan hukum yaitu: Alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dan tidak pernah
at-tarku dijadikan sebagai landasan hukum (hujjah).
Jika
ada yang mengatakan bahwa ada ”Sunnah Tarkiyyah” maka itu jelas-jelas telah
menambah-nambah dan membuat-buat dalil dalam agama dan itu bid’ah dhalalah.
Selaras
dengan apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i, Imam Abu Muhammad Abdullah
Qutaibah didalam Al-Ikhtilaf fi Lafdzi wa Ar-Rad ‘alaa Al-Jahmiyyah wa
Al-Musyabbihah : “perbuatan membid’ahkan pendapat yang masih bersandarkan
hujjah dalam agama Allah adalah bid’ah”.
Wassalam,
Disarikan
dari tulisan Mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo Fakultas Syariah Wal Qanun
dengan beberapa penambahan.
Referensi
;
–
Kitab Husnut-Tafahumi wa Ad-Darki Limas’alatit-Tark
– Mafhum Al-Bid’ah ‘Inda Ulama’ Al-Ummah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar