AHLAN WASAHLAN DI BLOG PONDOK PESANTREN NUR AL TAUHID MARUNDA JAKARTA UTARA

Rabu, 04 November 2020

Bagi yang Haus Kemurnian Agama Maka Belajarlah Ilmu Tasawuf 1





Berkata sebagian orang, sesungguhnya tujuan mempelajari kitab HIKAM atau yang sepertinya adalah sebagai awal keberangkatan seorang menuju tasawuf (sufisme). Adapun tasawuf adalah sebuah bahaya dalam islam yang akan mengeluarkan seseorang dari dalamnya, karena pekerjaan orang tasawuf merupakan perbuatan BID’AH yang di kawatirkan oleh Rosulullah dalam sabdanya

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Artinya Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676).

Maka akan kita jawab, adapun masalah nama “TASAWUF” memang tidak diragukan lagi bahwa itu tidak ada di zaman Nabi dan kita bersepakat tentang hal ini. Sebenarnya  banyak juga dijumpai nama baru dalam agama yang tidak ada di zaman Nabi tapi tidak sampai dianggap sebagai perbuatan bid’ah. Yang menjadi permasalahan di sini bukanlah lagi seputar nama dan pelajarannya, karena itu tidak lah masuk ke dalam pengertian “Perkara Baru” yang dikhawatirkan Nabi. Adapun makna yang dimaksud dengan perkara baru adalah perkara yang berkaitan dengan meyakini sifat yang tidak pantas bagi Allah dan tentang cara menyembah yang salah.

Oleh karena itu, mungkin yang lebih baik kita tidak menggunakan kata “Tasawuf” agar tidak menyinggung perasaan sebagian orang yang memang tidak mau menggunakannya, tapi kita akan langsung menuju pada makna yang terkandung di dalamnya. Karena imam ahmad ibnu Athoillah sendiri juga tidak menggunakan satu pun kata tasawuf di dalam kitab Hikam yang ditulisnya. Walaupun begitu kita tetap tidak bisa membuang kata tasawuf dari kamus.
Kemudian kita akan langsung saja melihat kitab Hikam ini dari arah inti sari dan pengertiannya. Lalu akan kita letakkan semua pengertian dari kitab ini di atas timbangan kitab suci Alquran dan sunnah Rosulullah. Apabila maknanya sesuai dengan timbangan tersebut maka kita akan menerimanya dan apabila tidak sesuai maka kita akan menolaknya.

Adapun kata yang di gunakan Nabi yang sama tujuannya dengan ilmu tasawuf adalah kata “ IKHSAN”. Yang mana pengertian dan kepentingannya ada dalam sabda Nabi yang diriwayatkan dalam shohih Imam Muslim dari sahabat Umar bin Khottob, yang mana dalam hadits tersebut Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril as
الاِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ, فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya Ikhsan adalah menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka yakin lah bahwa Allah melihat dirimu.

          Mari  bertanya pada diri kita masing masing, apakah kita butuh pada penuntun untuk bisa sampai pada kedudukan ikhsan, setelah Rosulallah yang merupakan Imam ahli hakekat menjelaskan kepada kita tentang pengertian islam dan iman ?

          Setelah kita berhasil menjadi orang islam dan orang yang beriman, Apakah kita pernah bertanya bagaimanakah kedudukan ikhsan itu dan bagaimana cara mencapainya ?

        Sesungguhnya dalam perjalanan hidup Rasulullah dan para sahabat yang mulia, nampak dari perjalanan hidup keduanya kebutuhan yang sangat untuk bisa sampai pada kedudukan ikhsan, sangat jelas terlihat kesibukan mereka untuk mencapai kedudukan ikhsan, ditengah kesibukan mereka membangun tiang agama yang berupa iman dan islam. Kalau begitu apa yang telah berjalan di masa hidup Rasulullah SAW dan para sahabat ra juga harus ada dalam perjalanan hidup kaum muslimin. Demikian ditulis oleh Asyahid Imam Muhamad Said Romadhon AlButy dalam pembukaan syarah hikam.

         Dari apa yang telah kita diketahui bahwa rukun iman itu adalah perintah Allah agar manusia menanamkan keyakinan dalam hati yang dibangun dengan akal pikiran yang sehat, adapun rukun islam adalah perintah Allah  agar manusia menampakkan amal dengan anggota badan.

          Akan tetapi apakah ada perintah lain, selain membangun rukun iman dengan keyakinan akal yang kuat dan membangun rukun islam dengan anggota badan ?

          Mungkin saja ada yang menjawab, kami tidak membutuhkan perkara baru dalam beragama, cukuplah bagi kami iman dengan keyakinan akal yang kuat pada agama dan islam yang memotivasi kami mengerjakan amal ibadah dengan anggota badan.

          Maka jawaban yang demikian adalah jawaban yang didasari pemikiran salah dari sisi ilmu pengetahuan dan kebatalan dikarenakan menolak kenyataan yang terjadi di zaman Rasulullah dan para sahabatnya.

          Kebanyakan dari mereka yang menolak di karena akalnya mengimani Allah tapi tidak sesuai dengan keimanan yang benar, bahkan berlawanan. Ini juga terjadi pada beberapa orang di zaman Rosulullah saw tapi pada zaman sekarang hampir sebagian manusia dalam keadaan demikian. Dan mereka itulah yang ada dalam firman Allah dalam surat An-naml ayat 27

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Artinya Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.

    Yang menjadi sebab adanya pengingkaran adalah TAHSINUL AKLI yaitu akal dianggap sebagai satu satunya sarana terbaik untuk bisa memotivasi seseorang dalam beribadah, banyak orang yang beranggapan demikian. Padahal dalam diri mereka masih ada kotoran yang belum dihilangkan, seperti kefanatikan, mengedepankan hawa nafsunya, mengejar keinginan pribadinya dan masih selalu terbawa emosi, lalu bagaimana akal bisa mengendalikan badan yang belum sepenuhnya tunduk dan patuh ?

        Maka apabila kita tidak mau meluaskan cara untuk bisa menghubungkan antara akal dan perbuatan manusia, yang mana cara inilah yang kita butuhkan untuk membersihkan semua kotoran dalam diri dan ini yang nanti akan kita bicarakan, maka pasti akal akan mengalami kekalahan dalam peperangan ini, apabila akal selalu di nomor satukan dan dijadikan sarana utama untuk mengendalikan kehidupan beragama, maka akan terjadi kekacauan dalam perjalanan hidup seseorang yang masih dipenuhi dengan fanatisme, emosi, mengikuti nafsu, yang kesemuanya itu bertentangan dengan fitrah manusia juga bertentangan dengan perjalanan hidup Nabi dan para sahabatnya.

        Lihatlah pada kebanyakan manusia di zaman sekarang, maka kamu akan mendapati manusia seperti apa yang aku katakan.
         
          




Tidak ada komentar:

Posting Komentar