Berkata sebagian orang, sesungguhnya tujuan
mempelajari kitab HIKAM atau yang sepertinya adalah sebagai awal keberangkatan seorang menuju tasawuf
(sufisme). Adapun tasawuf adalah sebuah bahaya dalam islam yang akan mengeluarkan
seseorang dari dalamnya, karena pekerjaan orang tasawuf merupakan perbuatan BID’AH yang
di kawatirkan oleh Rosulullah dalam sabdanya
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya Jauhilah
dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi
no. 2676).
Maka akan kita jawab, adapun masalah nama “TASAWUF” memang tidak diragukan lagi bahwa itu tidak ada
di zaman Nabi dan kita bersepakat tentang hal ini. Sebenarnya banyak juga dijumpai
nama baru dalam agama yang tidak ada di zaman Nabi tapi tidak sampai dianggap sebagai perbuatan bid’ah. Yang
menjadi permasalahan di sini bukanlah lagi seputar nama dan pelajarannya, karena
itu tidak lah masuk ke dalam pengertian “Perkara Baru” yang dikhawatirkan
Nabi. Adapun makna yang dimaksud dengan perkara baru adalah perkara yang berkaitan dengan meyakini sifat yang tidak pantas bagi Allah dan tentang cara menyembah yang salah.
Oleh karena itu, mungkin yang lebih baik kita tidak
menggunakan kata “Tasawuf” agar tidak menyinggung perasaan sebagian orang yang
memang tidak mau menggunakannya, tapi kita akan langsung menuju pada makna yang
terkandung di dalamnya. Karena imam ahmad ibnu Athoillah sendiri juga tidak
menggunakan satu pun kata tasawuf di dalam kitab Hikam yang ditulisnya. Walaupun
begitu kita tetap tidak bisa membuang kata tasawuf dari kamus.
Kemudian kita akan langsung saja melihat
kitab Hikam ini dari arah inti sari dan pengertiannya. Lalu akan kita letakkan semua
pengertian dari kitab ini di atas timbangan kitab suci Alquran dan sunnah
Rosulullah. Apabila maknanya sesuai dengan timbangan tersebut maka kita akan
menerimanya dan apabila tidak sesuai maka kita akan menolaknya.
Adapun kata yang di gunakan Nabi yang sama
tujuannya dengan ilmu tasawuf adalah kata “ IKHSAN”. Yang mana pengertian
dan kepentingannya ada dalam sabda Nabi yang diriwayatkan dalam shohih Imam
Muslim dari sahabat Umar bin Khottob, yang mana dalam hadits tersebut Nabi
menjawab pertanyaan malaikat Jibril as
الاِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ, فَاِنْ لَمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya
Ikhsan adalah menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak
melihatnya maka yakin lah bahwa Allah melihat dirimu.
Mari bertanya pada diri kita masing
masing, apakah kita butuh pada penuntun untuk bisa sampai pada kedudukan
ikhsan, setelah Rosulallah yang merupakan Imam ahli hakekat menjelaskan kepada
kita tentang pengertian islam dan iman ?
Setelah kita
berhasil menjadi orang islam dan orang yang beriman, Apakah kita pernah bertanya
bagaimanakah kedudukan ikhsan itu dan bagaimana cara mencapainya ?
Sesungguhnya dalam perjalanan hidup
Rasulullah dan para sahabat yang mulia, nampak dari perjalanan hidup keduanya
kebutuhan yang sangat untuk bisa sampai pada kedudukan ikhsan, sangat jelas terlihat
kesibukan mereka untuk mencapai kedudukan ikhsan, ditengah kesibukan mereka
membangun tiang agama yang berupa iman dan islam. Kalau begitu apa yang telah
berjalan di masa hidup Rasulullah SAW dan para sahabat ra juga harus ada dalam
perjalanan hidup kaum muslimin. Demikian ditulis oleh Asyahid Imam Muhamad Said Romadhon AlButy dalam pembukaan syarah hikam.
Dari apa yang telah kita diketahui bahwa
rukun iman itu adalah perintah Allah agar manusia menanamkan keyakinan dalam hati yang dibangun dengan akal pikiran yang
sehat, adapun rukun islam adalah perintah Allah agar manusia menampakkan amal dengan anggota badan.
Akan tetapi apakah ada perintah lain, selain membangun rukun iman dengan keyakinan akal yang kuat dan membangun rukun islam dengan anggota badan ?
Mungkin saja ada yang menjawab, kami
tidak membutuhkan perkara baru dalam beragama, cukuplah bagi kami iman dengan keyakinan
akal yang kuat pada agama dan islam yang memotivasi kami mengerjakan amal ibadah dengan anggota badan.
Maka jawaban yang demikian adalah
jawaban yang didasari pemikiran salah dari sisi ilmu pengetahuan dan
kebatalan dikarenakan menolak kenyataan yang terjadi di zaman
Rasulullah dan para sahabatnya.
Kebanyakan dari mereka yang menolak
di karena akalnya mengimani Allah tapi tidak sesuai dengan keimanan
yang benar, bahkan berlawanan. Ini juga terjadi pada beberapa orang di zaman Rosulullah
saw tapi pada zaman sekarang hampir sebagian manusia dalam keadaan demikian. Dan
mereka itulah yang ada dalam firman Allah dalam surat An-naml ayat 27
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
Artinya Dan mereka
mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka
meyakini (kebenaran)nya.
Yang
menjadi sebab adanya pengingkaran adalah TAHSINUL AKLI yaitu akal dianggap sebagai satu satunya sarana
terbaik untuk bisa memotivasi seseorang dalam beribadah, banyak orang yang
beranggapan demikian. Padahal dalam diri mereka masih ada kotoran yang belum dihilangkan, seperti kefanatikan, mengedepankan
hawa nafsunya, mengejar keinginan pribadinya dan masih selalu terbawa emosi,
lalu bagaimana akal bisa mengendalikan badan yang belum sepenuhnya tunduk dan patuh ?
Maka
apabila kita tidak mau meluaskan cara untuk bisa menghubungkan antara akal dan perbuatan
manusia, yang mana cara inilah yang kita butuhkan untuk membersihkan semua kotoran dalam diri dan ini yang nanti akan kita
bicarakan, maka pasti akal akan mengalami kekalahan dalam peperangan ini, apabila akal selalu di nomor satukan dan dijadikan sarana utama untuk mengendalikan kehidupan beragama,
maka akan terjadi kekacauan dalam perjalanan hidup seseorang yang masih dipenuhi dengan
fanatisme, emosi, mengikuti nafsu, yang kesemuanya itu bertentangan dengan fitrah manusia juga bertentangan dengan perjalanan
hidup Nabi dan para sahabatnya.
Lihatlah pada kebanyakan manusia di zaman sekarang, maka kamu akan mendapati manusia seperti apa yang aku
katakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar