Sayangnya akhir-akhir ini ada hal yang sangat meresahkan yaitu munculnya pembagian tauhid kepada Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah. Orang yang pertama kali melakukan pembagian Tauhid seperti ini adalah Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja (lahir: 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H). Padahal dia adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.
Ibnu
Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan Sahabat Nabi,
kemudian Tabi'in yaitu
generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu
generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk
kehidupan Islam.
Ini
adalah hal yang aneh bukan ? Padahal di zaman Nabi, sahabat dan Tabi’in
maupun ulama salafus sholeh tidak ada pembagian seperti itu. Dia berpendapat
tentang pembagian Tauhid ini, bahwa “Sesungguhnya Rosul tidak diutus kecuali
untuk menyampaikan Tauhid Uluhiyah yaitu mengesakan Allah dengan cara beribadah
dan Tauhid Rububiyah yaitu meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan
dan mengatur alam semesta, maka tidak ada satupun dari orang-orang musyrik
maupun orang-orang mu’min yang menentang hal ini.”
Selanjutnya Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Orang-orang yang bertawasul kepada para Nabi, para Wali, dan
meminta Syafaat dari mereka serta memanggil-manggil dalam kondisi kesulitan
maka mereka adalah menyembah kepada para Nabi dan Wali, dan mereka telah
Kufur.”
Bahkan Muhamad bin Abdul
Wahab yang merupakan penyebar pembagian tauhid ini, dia berkata, “Sesungguhnya
kekafiran mereka lebih keji daripada kekafiran para penyembah berhala.”
Perkataan Ibnu Taimiyah
yang seperti ini jelas tidak sesuai jelas tidak sesuai dengan nash-nash yang
terdapat dalam Al-Qua’an dan Hadist. Sebab Rosulullahصَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah mengatakan kepada para
Sahabatnya ketika masuk islam: “Bahwa didalam Agama Islam itu ada dua macam
tauhid, yaitu tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah, dan engkau tidak dikatakan
sebagai seorang muslim sehingga engkau bertauhid Uluhiyah dan tidak dikatakan
sebagai seorang mu’min sehingga engkau bertauhid Rububiyah” tidak ada kalimat
seperti ini maupun isyarat ke arah itu. Dan juga para ulama salaf tidak pernah
mengajarkan pembagian seperti ini kepada generasi selanjutnya.
Pembagian seperti ini
juga tidak memiliki dasar, karena Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang
wajib disembah, tidak boleh dipilih Allah sebagai Ilahi atau sebagai Robb.
Sebab memilah-milah tersebut akan merusak Aqidah kita.
Adapun perkataan Ibnu
Taimiyah selanjutnya yaitu, “Sesungguhnya orang-orang yang bertawasul kepada
para Nabi, para Wali, dan meminta syafaat kepada mereka serta memanggil-manggil
mereka ketika dalam keadaan sulit, maka mereka telah menghambakan dirinya
kepada para Nabi dan para Wali, dan mereka telah Kufur.” Maka perkataan
tersebut tidak bersumbar dari Al-Qur’an dan Hadist.
Sebab Rosulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan
dan mencontohkan kepada para sahabatnya untuk bertawasul. Diriwayatkan
bahwasannya Rosulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajarkan kepada
seorang lelaki buta untuk bertawasul dengan menyebut nama beliau. Kemudian
laki-laki itu pergi dan secara tersembunyi bertawasul dengan menyebut nama
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Selanjutnya lelaki itu datang kembali menemui Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam
keadaan sudah bisa melihat.
Adapun kalimat yang
diajarkan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada laki-laki
itu adalah : “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dan bertawajjuh dengan kemulyaan
Nabi-Mu Muhamad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ, Nabi pembawa Rohmat” atau dengan ucapan “Wahai Nabi
Muhamad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,
sesungguhnya aku betawajjuh kepadamu atas kemulyaanmu sebagai pembawa rohmat
untuk meminta kepada Allah agar mengabulkan doaku......”(hadits shohih riwayat
Ath-Thobroni).
Jadi, bertawasul itu
telah diajarkan dan dipraktekkan olah para sahabat dan salafus sholeh. Bagi
yang ingin mendalami masalah ini silahkan merujuk kepada kitab-kitab Ulama
Ahlus sunah Wal Jama’ah yang mu’tabar.
Adapun tentang
dibolehkannya meminta syafaat dalilnya banyat banyak sekali, antara lain hadits
yang diriwayatkan oleh Imam kita yaitu Imam Al-Bukhori رَضِيَ اللهُ عَنْهُ berikut ini:
“Tatkala tiba Hari
Kiamat, manusia satu sama lainnya dalam kebingungan. Mereka lalu mendatangi
Nabi ‘Adam. Mereka berkata berilah kami syafaat dihadapan Tuhanmu.” Nabi ‘Adam
berkata kepada mereka, “Aku tidak berhak memberi syafaat itu, akan tetapi
hendaknya kalian menemui Nabi Ibrohim, karena sesungguhnya dia adalah kekasih
Allah Ar-Rohman.” Maka mereka mendatangi Nabi Ibrohim dengan permintaan yang
sama. Kemudian Nabi Ibrohim berkata, “Aku tidak berhak untuk itu, akan tetapi
hendaknya kalian menemui Nabi Musa, sesungguhnya dia adalah orang yang diajak
bicara oleh Allah.” lalu mereka mendatangi Nabi Musa. Kemudian Nabi Musa
berkata, “Aku tidak berhak untuk itu, akan tetapi hendaknya kalian menemui Nabi
‘Isa karena sesungguhnya Nabi ‘Isa itu adalah Ruh dan Kalimat Allah. mereka
lalu mendatangi Nabi ‘Isa. Kemudian Nabi ‘Isa berkata, “Apabila kalian memiliki
sesuatu kemudian kalian simpan ke dalam kotak dan kalian kunci, bisakah kalian
ambil sesuatu itu bila tetap kunci ? Maka temuilah Nabi Muhamad karena dialah
yang memegang kunci syafaat.” Lalu mereka semua menemui Nabi
Muhamad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ Kemudian Nabi Muhamad
berkata, “ mereka mendatangi aku, dan aku katakan Aku berhak untuk itu. Aku
lalu meminta izin kepada Tuhanku, maka Tuhanku memberi izin kepadaku dan
memberi ilham kepadaku berupa pujian yang kemudian aku memuji Allah dengan
Pujian itu. Pujian-pujian itu tidak datang kepadaku sekarang ini. Lalu aku
memuji Allah dengan pujian-pujian itu dan mengakhirinya dengan bersujud.
Kemudian Allah berfirman kepadaku ‘Wahai Muhamad angkatlah kepalamu, dan
berkatala maka perkataanmu akan didengar, memintalah maka permintaanmu akan
diberikan, dan berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima.’ Aku lalu berkata
‘Wahai Tuhanku, Umatku.... Umatku....’ kemudian Allah berkata, ‘Wahai Muhamad,
pergilah dan keluarkanlah mereka dari sana (neraka) orang-orang yang didalam
hatinya terdapat keimanan sebesar biji gandum.’ Aku lalu pergi dan melakukan
apa yang diperintahkan...... (HR. Al-Bukhori).
Hadits tentang syafaat
ini jumlahnya sangat banyak sehingga mencapai derajar mutawatir. Semuanya
menyatakan keabsahan adanya syafaat diakhirat dan diperuntukkan bagi
orang-orang mu’min yang berdosa. Ulama salaf dan kholaf dari golongan Ahlus
Sunah juga bersepakat tentang adanya syafaat.
Oleh kerena itu, bagi
umat islam hendaknya belajar dari kitab-kitab peninggalan ulama yang kualitas
keilmuannya tidak diragukan lagi. Dan dalam urusan agama serahkanlah kepada
ahlinya yaitu para ulama yang merupakan pewaris-pewaris para Nabi. Allah Ta’ala
berfiman, “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tidak mengetahui.” (Al-Anbiyaa’ : 7).
Demikian sekelumit yang
bisa kami paparkan tentang pembagian Tauhid yang batal. Maka berhati-hatilah
mencari guru dalam belajar ilmu tauhid. Karena melencengnya kita dari makna
Tauhid yang benar maka kita akan Kafir, tetapi melencengnya kita dalam belajar
Fiqih maka tidak sampai kafir, akan tetapi dihukum ma’siat.
Maka perhatikanlah hal
ini !!!!! وَاللهُ أَعْلَمُ
بِالصَّوَابِ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar